Sejarah
Sejarah Perkembangan Peradilan Militer
Pengantar
Peradilan Militer memiliki sejarah panjang yang berakar pada kebutuhan negara untuk menegakkan disiplin dan hukum di dalam Angkatan Bersenjata. Kehadirannya tidak hanya menjadi bagian dari sistem Peradilan Nasional di berbagai negara, tetapi juga mengalami perkembangan seiring dengan dinamika kekuatan militer. Sejak berkembangnya kekuatan militer itu pula, Peradilan Militer telah digunakan untuk mengadili prajurit yang melanggar aturan perang dan disiplin militer.
Sejarah Perkembangan Peradilan Militer di Indonesia tidak lepas dari pengaruh sistem hukum militer negara Belanda dan Jepang. Peradilan Militer Belanda di Indonesia sebelum dan sesudah Perang Dunia II dapat diterangkan sebagai berikut:
a. Krijgsraad Dan Hoog Militair Gerechtshof.
Sebelum Perang Dunia II, Peradilan Militer Belanda di Tanah Air dikenal dengan nama Krijgsraad dan Hoog Militair Gerechtshof. Peradilan ini ruang lingkupnya meliputi perbuatan pidana militer, anggota-anggotanya terdiri dari Angkatan Darat Belanda di Indonesia (Hindia belanda) yaitu KNIL dan anggota-anggota Angkatan Laut Belanda. Perlu diterangkan bahwa Angkatan Laut ini merupakan bagian integral dari AL Kerajaan Belanda (Koninklijke Marine = KM) sedangkan KNIL merupakan suatu organisasi sendiri, dalam arti terlepas dari Tentara Kerajaan Belanda (Koninklijke Leger = KL). Dalam Pasal 31 Indische Staats Regeling (Undang-undang ketatanegaraan di Hindia Belanda), disebut ada hubungan tentang ketata-usahaan antara Angkatan Laut Belanda di Indonesia dengan Departemen Van Marine negeri Belanda. Atas perbedaan-perbedaan itu maka anggota-anggota Angkatan Darat Hindia Belanda (KNIL) diperiksa dan diadili oleh Krijgsraad (untuk tingkat pertama) dan Hoog Militair Gerechtshof (untuk tingkat banding) dan anggota-anggota Angkatan Laut Belanda di Hindia Belanda (termasuk dalam KM).
Krijgsraad bersidang untuk mengadili tiap perkara apabila ada panggilan sidang oleh Komandan Militer. Susunan sidang Krijgsraad ialah seorang ketua (orang sipil ahli hukum) dengan 4 (empat) orang anggota militer pangkat opsir dan diangkat untuk jabatan itu oleh Komandan Garnisun. Jabatan Auditeur Militer (Oditur) dirangkap oleh seorang bukan militer (sipil) yang diangkat oleh Gubernur Jenderal. Krijgsraad memeriksa dan mengadili perkara pidana pada tingkat pertama terhadap semua anggota militer dan orang-orang sipil yang bekerja di lingkungan kemiliteran, kecuali mereka yang pada instansi pertama harus dihadapkan kepada Hoog Militair Gerchtshof. Sedangkan badan pengadilan yang akhir ini (Hoog Militair Gerchtshof) merupakan pengadilan militer instansi kedua dan tertinggi di Hindia Belanda serta berkedudukan di Jakarta.
Hoog Militair Gerchtshof (HMG) bila bersidang terdiri dari 5 (lima) orang (sidang Hakim Majelis) yaitu 2 (dua) orang yang ahli hukum (seorang akan bertindak sebagai Ketua) dan 3 (tiga) orang Opsir Tinggi/Menengah (2 dari Angkatan Darat (KNIL) dan 1 dari Angkatan Laut Belanda (KM) baik yang masih berdinas aktif ataupun yang sudah pensiun). Seorang Advocaat Fiscaal Generaal pada Hoog Militair Gerchtshof bertindak sebagai Penuntut Umum. la diangkat oleh Gubernur Jenderal, wakilnya disebut Advocaat Fiscaal. Pada HMG ada seorang Panitera. Hoog Militair Gerchtshof (HMG), pada tingkat pertama mengadili perkara pidana yang dilakukan oleh anggota militer yang berpangkat lebih tinggi dari Kapten. Pada tingkat kedua, HMG mengadili perkara banding yang diajukan terhadap putusan Krijgsraad.
b. Zee Krijgsraad.
Badan ini mengadili perkara pidana yang dilakukan oleh anggota Angkatan Laut Belanda (Koninklijke Marine) yang berada di luar negeri Belanda. Anggota-anggota badan tersebut terdiri dari opsir-opsir AL Belanda dan biasanya bersidang di atas geladak kapal perang. Di Hindia Belanda pada waktu itu, badan pengadilan bersangkutan dipanggil bersidang oleh Komandan (tertinggi) Angkatan Laut Belanda. Seorang opsir tata usaha dari Angkatan Laut ditunjuk sebagai penuntut umum di daerah Hindia belanda dulu. Hoog Militair Gerchtshof, merupakan Badan Pengadilan Banding bagi Zee Krijgsraad. HMG juga mengadili pada tingkat pertama perkara-perkara pidana yang dilakukan oleh opsir AL Belanda berpangkat lebih tinggi dari Letnan Laut Kelas 1.
Pada zaman setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, ketentuan mengenai pernyataan dalam keadaan bahaya bekas daerah Hindia Belanda dari tanggal 10 Mei 1940, tetap dinyatakan berlaku oleh pemerintah pendudukan Belanda terhadap daerah-daerah yang dikuasainya. Dengan demikian, penguasa Belanda di Jawa Madura maupun di luar daerah bersangkutan mengadakan Temraire Krijgsraad, yaitu Mahkamah Militer Sementara yang diberi wewenang pula mengadili tindak pidana yang oleh orang-orang bukan militer serta bukan digolongkan dalam bangsa Indonesia, apabila ancaman hukumannya ialah lebih dari 15 (lima belas) tahun, pemeriksaan dilakukan oleh Majelis Hakim yang terdiri dari 3 (tiga) orang. Dan Oditur biasanya berasal dari Jaksa Landgerecht.
Periode Tahun 1945
Pada masa ini Peradilan Militer di Indonesia masih mengadopsi ketentuan pemerintah zaman penjajahan Belanda yaitu Kijgsraad yang berfungsi sebagai hukum acara dalam memeriksa dan mengadili perkara pidana pada tingkat pertama terhadap semua anggota militer dan orang sipil yang bekerja di lingkungan kemiliteran. Adapun dasar hukum yang digunakan adalah Pasal 2 Ketentuan Peralihan UUD 1945 yang berbunyi, “Segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”.
Periode Tahun 1946-1948
Pada periode ini, pemerintah telah mengundangkan Undang-Undang No.7 Tahun 1946 pada tanggal 8 Juni 1946, yang dalam Pasal 22 menyatakan: Mengadakan Peradilan Tentara selain pengadilan biasa dan berdasarkan ketentuan Pasal 5 Pengadilan Tentara diberi kewenangan juga mengadili perkara koneksitas, pada saat bersamaan diundangkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Acara Pidana Pengadilan Tentara. Sesuai dengan kebutuhan pada saat itu, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1946 diganti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1948 tentang Susunan dan Pengadilan/Kejaksaan dalam lingkungan Pengadilan Ketentaraan, dan selanjutnya dibentuk Peradilan khusus di lingkungan ketentaraan yaitu Mahkamah Tentara Sementara, dan Mahkamah Tentara Daerah Terpencil. Mahkamah Tentara Luar Biasa, dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 1946 dan Peraturan Pemerintah No.4 Tahun 1947 yang bertujuan untuk mempermudah berlangsungnya Peradilan Tentara di beberapa daerah masih sangat rawan dan kurang kondusif. Mahkamah Tentara Sementara, dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 1947. Mahkamah ini bertindak sebagai Pengadilan Negeri untuk daerah hukumnya yang merangkap menjadi Pengadilan Tentara Luar Biasa, mengingat tidak semua daerah telah dibentuk Mahkamah Tentara, dan keterbatasan Hakim Militer/tenaga ahli. Mahkamah Tentara Daerah Terpencil, dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 1947, Mahkamah ini dibentuk di daerah terpencil secara nyata dalam suatu daerah pertempuran.
Periode Agresi Ke-2 Tahun 1948.
Pada masa Agresi kedua setelah tanggal 19 Desember 1948, berdasarkan Peraturan Darurat Tahun 1949 Nomor 46/MBKD/49 Tanggal 7 Mei 1949, maka untuk mewujudkan kebutuhan pada waktu itu pemerintah membebankan tugas kepada Peradilan Tentara dalam menyelenggarakan Peradilan Tentara dan Peradilan Sipil yang berlaku untuk seluruh Jawa dan Madura bagi anggota Angkatan Perang dan bagi orang Sipil. Kewenangan yang diberikan pada Pengadilan Tentara pada waktu itu meliputi Pengadilan Tentara Pemerintah Militer, Pengadilan Sipil Pemerintah Militer, Mahkamah Tentara Luar Biasa, dan kewenangan menjalankan hukuman penjara.
Periode RIS Tahun 1949-1950
Pada masa pemerintahan Republik Indonesia Serikat (RIS) berdasarkan Undang-Undang No.6 Tahun 1950, mempertegas lagi Kompetensi Peradilan Militer yang antara lain menyatakan masih berlakunya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No.36 Tahun 1949 tentang Penghapusan Peraturan Darurat No.46/MBKD/49 dan menghidupkan kembali Pengadilan Tentara yang ada sebelum tanggal 7 Mei 1949, serta berlakunya kembali Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1948 tentang Susunan dan Kekuasaan Pengadilan/Kejaksaan dalam lingkungan Pengadilan Tentara. Dengan demikian, sejak berlakunya Undang-Undang No.6 Tahun 1950, secara Konstitusional keberadaan Peradilan Militer dapat dikatakan telah memiliki dasar hukum yang kuat. Ketentuan pasal 2 Undang-undang No.6 Tahun 1950 yaitu Undang-undang tentang kekuasaan kehakiman dalam Peradilan Ketentaraan dilakukan oleh Pengadilan Tentara. Pengadilan Tentara Tinggi dan Mahkamah Tentara Agung.
Periode UUDS Tahun 1950-1959
Pada masa ini dikeluarkan Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 tanggal 15 Maret 1951 tentang Tindakan-tindakan sementara untuk menyelenggarakan kesatuan susunan, kekuasaan dan acara pengadilan sipil, sehingga kedudukan hukum (wilayah hukum) Pengadilan Militer pada umumnya sama dengan kedudukan (wilayah hukum) Peradilan Umum. Pada periode ini terjadi integrasi pertama antara Pengadilan Militer dan Pengadilan Sipil, sebab saat itu jabatan-jabatan pada Tata Usaha Militer dirangkap juga oleh pegawai dari Peradilan Umum, disebabkan masih kurangnya tenaga ahli dari lingkungan Peradilan Militer. Selanjutnya diundangkan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1954 tentang Pertahanan Negara, dalam Pasal 35 menyatakan, “Angkatan perang mempunyai peradilan tersendiri”, sehingga hal ini lebih mempertegas eksistensi Peradilan Militer yang berdiri sendiri dan terlepas dari peradilan lain.
Periode Tahun 1959-1966.
Pada periode ini dikenal Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 yaitu kembalinya UUD 1945 secara Murni dan Konsekuen, sehingga untuk melaksanakan ketentuan Pasal 24 UUD 1945 yang mengatur tentang kekuasaan kehakiman telah diundangkan dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1964 tentang Kekuasaan Kehakiman. Dalam ketentuan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1964 disebutkan bahwa kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara, dan semua pengadilan berpuncak pada Mahkamah Agung yang merupakan Pengadilan Tertinggi semua lingkungan peradilan. Peradilan tersebut secara teknis berpuncak pada Mahkamah Agung dan secara administratif pada saat itu berada di bawah departemen masing-masing (Dep. Kehakiman, Dep. Agama, dan Dep. Hankam). Pada waktu itu, Panglima Angkatan setingkat dengan Menteri Negara, sehingga masing-masing Panglima Angkatan membentuk Peradilan sendiri, yaitu Peradilan Militer Angkatan Darat, Peradilan Militer Angkatan Laut, dan Peradilan Militer Angkatan Udara, sehingga Peradilan Militer pada saat itu belum terintegrasi dan berada langsung di bawah Panglima dari masing-masing Angkatan.
Periode 11 Maret 1966-1970
Dalam rangka pemurnian pelaksanaan UUD 1945, sesuai dengan Keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara No. XIX/MPRS/1966 jo. TAP MPRS No. XXXIX/MPRS/1968 maka pemerintah bersama DPRGR telah mengadakan peninjauan terhadap Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1964, karena dianggap tidak melaksanakan pemurnian Pasal 24 UUD 1945.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969 dibentuk Peradilan Khusus Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub). Pengadilan khusus ini dibentuk untuk menyidangkan perkara-perkara yang dianggap membahayakan keamanan bangsa dan negara, dan memerlukan penyelesaian dengan segera. Hal ini disebabkan perkara tersebut sangat erat kaitannya dengan kebijakan pemerintah di bidang pertahanan dan keamanan, seperti peristiwa G-30-S/PKI. Di samping itu, pemerintah telah mengganti Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1964 dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang berpegang pada asas peradilan bebas dan menetapkan 4 (empat) lingkungan kekuasaan peradilan, yaitu Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara.
Berdasarkan lintas sejarah Peradilan Militer tersebut, maka tidaklah benar bila keberadaan Peradilan Militer baru masuk dalam konstitusi setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970, sebab Peradilan Militer berkembang sejalan dengan sejarah konstitusi yang berlaku di negara kita, dan bersifat mandiri terlepas dari peradilan lain. Kedudukan Peradilan Militer tidak saja setara dengan peradilan lain, tapi juga memiliki kewenangan yang terpisah dengan peradilan lainnya.
Peradilan Militer Didasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997
a. Penyelenggaran Peradilan Militer.
Perkembangan Peradilan Militer sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, dapat kita lihat pada penyelenggaraan fungsi (fungsi penyidikan, penuntutan, dan pengadilan), disamping yurisdiksi, dan kompetensi yang dimiliki. Fungsi penyidikan sebelumnya dilaksanakan oleh Polisi Militer Gabungan dari 3 (tiga) angkatan, namun dalam perkembangannya dilaksanakan oleh Polisi Militer Angkatan Darat, dan sekarang dilaksanakan di masing-masing Angkatan, yaitu Polisi Militer Angkatan Darat, Polisi Militer Angkatan Laut, dan Polisi Militer Angkatan Udara.
b. Fungsi Penuntutan
Fungsi penuntutan dilaksanakan oleh institusi TNI yang berada dalam wadah Oditurat Jenderal TNI, dan dalam Pokok-Pokok Organisasi dan Prosedur (POP) Babinkum TNI Oditurat Jenderal TNI di bawah Badan Pembinaan Hukum TNI sebagai badan pelaksana pusat. Fungsi pengadilan dilaksanakan oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Militer, termasuk di dalamnya melaksanakan fungsi penyelesaian perkara Tata Usaha Militer dan koneksitas.
c. Yurisdiksi Peradilan Militer
Yurisdiksi Peradilan Militer juga telah dikembangkan menjadi 4 (empat) strata, dan secara formal memiliki kewenangan masing-masing yaitu Pengadilan Militer (Dilmil), Pengadilan Militer Tinggi (Dilmilti), Pengadilan Militer Utama (Dilmiltama) dan Pengadilan Militer Pertempuran (Dilmilpur). Adapun yurisdiksi masing-masing pengadilan tersebut sebagai berikut:
- Pengadilan Militer merupakan pengadilan tingkat pertama bagi prajurit berpangkat Kapten ke bawah (sampai dengan bintara dan tamtama);
- Pengadilan Militer Tinggi merupakan pengadilan tingkat pertama bagi prajurit berpangkat Mayor ke atas (sampai Perwira Tinggi/Jenderal/Laksamana/Marsekal TNI), dan sebagai Pengadilan Tingkat Pertama dalam memeriksa Gugatan Tata Usaha Militer.
- Pengadilan Militer Utama adalah Pengadilan yang memeriksa dan memutus pada Tingkat Banding perkara pidana dan sengketa tata usaha militer yang telah diputus pada tingkat pertama oleh Pengadilan Militer Tinggi yang dimintakan banding, serta memutus perbedaan pendapat antara Perwira Penyerah Perkara (Papera) dan Oditur Militer.
- Pengadilan Militer Pertempuran; berdasarkan ketentuan Pasal 45 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer adalah Pengadilan Tingkat Pertama dan Terakhir terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh prajurit di daerah pertempuran. Pengadilan Militer Pertempuran merupakan organisasi kerangka yang dibentuk bersifat insidentil sesuai dengan kebutuhan daerah pertempuran.
Peradilan Satu Atap di Bawah Mahkamah Agung RI
Perkembangan Peradilan Militer tidak terlepas dari wacana Peradilan Satu Atap di bawah Mahkamah Agung RI sebagai amanah yang ditentukan dalam Pasal 24 ayat (1) dan (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka guna menegakkan hukum dan keadilan. Kekuasaan Kehakiman tersebut dilakukan oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, Peradilan Tata Usaha Negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Adapun yang dimaksud satu atap adalah suatu sistem yang menyatukan kewenangan pengelolaan aspek organisasi, administrasi, dan finansial peradilan berada di Mahkamah Agung RI terlepas dari campur tangan pemerintah yang sebelumnya dilaksanakan oleh Departemen Kehakiman, Departemen Agama dan Mabes TNI.
Peradilan satu atap mulai terwujud sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman sebagai penjabaran Pasal 11 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 yang telah mengubah Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970. Secara riil, perkembangan Peradilan Militer juga dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 42 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 menyebutkan pengalihan organisasi, administrasi, dan finansial harus telah selesai dilaksanakan paling lambat tanggal 30 Juni 2004, dimana pelaksanaannya melalui Keputusan Presiden paling lambat 60 hari sebelum tanggal 9 Juli 2004. Secara fisik penyerahan baru dilaksanakan tanggal 1 September 2004 dengan ditandatanganinya Berita Acara Serah Terima oleh Panglima TNI dan Ketua Mahkamah Agung RI.
Secara yuridis sudah terjadi reformasi eksternal dari Peradilan Militer, sebelumnya kerangka organisasi Pengadilan Militer masih menggunakan kerangka organisasi yang lama berdasarkan Keputusan Panglima ABRI No. Kep/01/1984 tanggal 30 Oktober 1984 dan Kep/06 /II/1988 tanggal 27 Februari 1988. Hal yang cukup penting dari perkembangan eksternal dari Peradilan Militer dengan ditandatanganinya keputusan bersama antara Panglima TNI dengan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor KMA/065A/SKB/IX/2004 dan SKEP No.420/IX/2004, yang mengatur mengenai pembinaan personil TNI. Berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kepaniteraan dan Kesekretariatan Peradilan sebagaimana telah mengalami beberapa kali perubahan dan terakhir diubah dengan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2025 tentang Perubahan Keenam atas Peraturan Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kepaniteraan dan Kesekretariatan Peradilan.